Pagi di Perumahan Melati Indah selalu diawali dengan suara langkah anak-anak berangkat sekolah, disusul dentingan sendok dari dapur para ibu yang sibuk menyiapkan sarapan. Dari balik jendela kamarnya, Dimas memperhatikan tetangganya, Novita. Wanita itu tampak sedang menyiapkan Rania, putrinya, untuk berangkat sekolah. Rania mengenakan seragam merah putih yang sedikit kebesaran, sementara Novita dengan sabar membetulkan dasi kecil di leher anaknya.
Ada sesuatu yang menenangkan saat melihat Novita. Dimas sendiri tidak tahu kenapa, tapi matanya selalu mencari wanita itu, seolah Novita adalah pemandangan yang tidak pernah membosankan. Bahkan ketika hanya berdiri di depan rumah sambil menyapu halaman, Novita memiliki cara membuat segalanya terlihat menarik.
“Bu, Rania berangkat dulu, ya!” suara ceria Rania terdengar sampai ke arah Dimas. Ia melihat bagaimana Novita mencium pipi putrinya sebelum Rania melangkah pergi bersama teman-temannya.
“Hati-hati di jalan, ya!” kata Novita sambil melambaikan tangan.
Ketika Rania sudah hilang dari pandangan, Novita masuk ke rumah. Tapi bagi Dimas, bayangan wanita itu tetap melekat. Tanpa sadar, ia tersenyum sendiri, lalu buru-buru mengalihkan perhatian saat ibunya memanggil dari ruang makan.
“Dimas, kamu kok melamun aja? Sarapan dulu, sana,” tegur Bu Ratih, ibunya, yang sudah menyiapkan nasi goreng untuk sarapan pagi.
“Iya, Bu. Sebentar lagi,” jawab Dimas sambil berpura-pura sibuk mengatur motor di depan rumah.
Hari itu berlalu seperti biasa, tapi malamnya Dimas kembali terjebak dalam kebiasaannya: memperhatikan rumah Novita dari kejauhan. Lampu ruang tamu wanita itu masih menyala, menunjukkan bayangan Novita yang sedang mengerjakan sesuatu di meja makan. Dimas tidak tahu apa yang sedang Novita lakukan, tetapi ada sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.
“Masih melamun, Mas Dimas?” suara Andi tiba-tiba muncul dari sampingnya.
Dimas terkejut. “Lho, kamu ngapain malam-malam ke sini?”
“Main aja. Eh, jangan-jangan kamu lagi ngeliatin tetangga baru itu, ya?” goda Andi sambil menyikut lengan Dimas.
Dimas berusaha menyangkal, tapi wajahnya yang merah sudah lebih dulu menjawab pertanyaan Andi. “Udah ah, kamu banyak ngomong. Mau kopi nggak?” tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Andi tertawa kecil. “Nggak nolak kalau ditawarin kopi. Tapi serius, Mas. Kalau kamu suka sama dia, ya deketin aja. Nggak usah jadi pahlawan jendela kayak gini.”
Malam itu, Dimas tidur dengan banyak pikiran. Apakah benar ia mulai menyukai Novita? Tapi apa yang bisa ia lakukan? Perbedaan usia, status Novita sebagai single mom, dan mungkin juga penilaian orang lain menjadi hal yang terus mengganggu pikirannya.
Namun satu hal yang pasti, hati Dimas sudah mulai tertambat. Dan tanpa ia sadari, pandangan dari jendela itu perlahan mengubah cara ia memandang hidup.
Baca Online gratis ” Cinta di Balik Pagar ” – Bab 2 ( Pandangan dari Jendela )
Untuk Bab selanjutnya dan membaca semua novel bisa ke Daftar Isi dan sinopsis Novel Online Gratis Cinta di balik Pagar ( Klik ” Kembali Ke Daftar Isi Cinta di Balik Pagar ” )