Perjalanan Sulton

Perjalanan Sulton

Sulton duduk di meja kerjanya, pandangannya kosong menatap layar komputer yang mati. Pagi itu, suasana kantor terasa lebih sepi dari biasanya. Ia merasa seperti ada yang hilang, meskipun seharusnya banyak pekerjaan yang menanti untuk diselesaikan. Tangan Sulton menekan tombol keyboard tanpa semangat, seperti ada beban berat yang tak bisa dilepaskannya. Tidak ada satu pun yang bisa membuatnya fokus hari ini. Kejadian semalam masih mengiang-ngiang dalam ingatan.

“Kenapa ya, Tuan Sulton? Kok wajahnya murung banget?” tanya Dina, teman sekerjanya, yang tiba-tiba muncul di pintu ruangannya.

Sulton menghela napas panjang. “Pusing, Din. Ada masalah besar yang harus aku selesaikan, tapi nggak tahu harus mulai dari mana.”

Dina duduk di kursi sebelah Sulton, memandangnya dengan cemas. “Masalah apa? Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.”

Sulton menatap layar laptopnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Pekerjaanku yang nggak selesai-selesai. Dan ada masalah lain dengan… hubungan aku sama Ibu.”

Dina mengangguk pelan, mencoba memahami. “Ibu kamu yang mana? Ibu kandung atau ibu dari…?”

“Ibu dari perempuan yang aku cintai,” jawab Sulton singkat.

Dina terdiam, menyadari bahwa situasi ini jauh lebih rumit daripada yang ia kira. “Jadi, masalah di rumah ya?”

“Ya, masalah dengan keluarga dan karir. Seperti ada dua dunia yang saling berbenturan. Aku harus memilih di antara keduanya, Din.”

Mendengar penuturan Sulton, Dina hanya bisa menggelengkan kepala, merasa terjebak dalam dilema yang sulit. “Tapi Sulton, kamu nggak bisa terus seperti ini. Cari jalan tengahnya, dong. Kalau kamu nggak segera ambil langkah, masalah ini bisa makin besar.”

Sulton tidak menjawab. Ia tahu benar apa yang Dina maksud, namun terkadang, ketika kita terjebak dalam masalah, memilih jalan yang tepat terasa sangat sulit.

Perjalanan Sulton

Konflik yang Membesar

Dua hari berlalu sejak percakapan itu, dan Sulton semakin merasa terpojok. Di kantor, ia terus menghadapi tekanan yang semakin besar. Tugas menumpuk, sementara proyek besar yang ia tangani hampir tenggat. Di rumah, situasi dengan tunangannya, Rina, juga tidak lebih baik. Ibunya yang selalu menentang hubungan mereka semakin menambah berat beban Sulton.

Pagi itu, Sulton mendapat telepon dari Rina. Terdengar suara Rina yang gemetar di ujung sana.

“Sulton, kita perlu bicara,” kata Rina dengan suara hampir tak terdengar.

Sulton merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. “Ada apa, Rin?”

“Ini… Ibu nggak setuju kita menikah. Dan aku rasa, aku nggak bisa terus hidup dalam ketidakpastian seperti ini.”

Sulton merasakan dadanya sesak. “Tunggu, Rin. Jangan terburu-buru. Kita bisa cari jalan keluar.”

“Tapi Sulton, ini sudah terlalu lama. Aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidaksetujuan Ibu. Aku cinta kamu, tapi ini juga tentang masa depan kita,” jawab Rina, suara penuh kesedihan.

Mendengar kata-kata Rina, Sulton merasa seperti ada dua dunia yang saling berhadap-hadapan. Di satu sisi, ia mencintai Rina dan ingin membangun masa depan bersama, namun di sisi lain, ia tidak bisa melawan ibunya yang sudah memberikan banyak pengorbanan demi hidupnya. Rasa bersalah menyelimuti hati Sulton. Apa yang seharusnya ia lakukan?

Dilema yang Terus Menghantui

Hari-hari berlalu, dan Sulton semakin bingung dengan jalan yang harus ia pilih. Ia merasa seperti ada dua kekuatan besar yang menariknya ke arah yang berbeda. Di satu sisi, ada impian untuk membahagiakan Rina dan membangun kehidupan bersama. Namun, di sisi lain, ia merasa terikat oleh tanggung jawab terhadap ibunya yang sudah berkorban banyak untuknya.

Pagi itu, ketika Sulton sedang duduk di warung kopi dekat kantor, ia bertemu dengan teman lamanya, Tio, yang dulu pernah mengajaknya berbisnis. Tio duduk di sebelahnya, menatap Sulton dengan penuh perhatian.

“Kenapa kelihatan kacau gini, Sul?” tanya Tio sambil menyodorkan secangkir kopi.

Sulton menceritakan semua yang sedang terjadi. Tio mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk tanda mengerti. Setelah beberapa lama, Tio berkata, “Dengerin aku, Sul. Hidup itu bukan cuma soal memilih, tapi soal mencari keseimbangan. Jangan biarkan orang lain memutuskan jalan hidupmu. Kamu yang harus bertanggung jawab atas pilihanmu.”

Sulton terdiam mendengarkan nasihat Tio. Selama ini, ia terlalu terpaku pada harapan orang lain dan lupa untuk mendengarkan apa yang sebenarnya ia inginkan.

Teaser Episode Selanjutnya: Sulton mulai memikirkan nasihat Tio dengan serius. Namun, ia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil akan berdampak besar pada kehidupan banyak orang. Akankah ia berani mengambil keputusan yang akan mengubah segalanya? Atau ia akan terus terjebak dalam dilema tanpa akhir?