Hari-hari setelah keputusan Novita tidak berjalan semulus yang ia bayangkan. Meski hatinya sudah mantap memilih Dimas, tantangan baru mulai bermunculan. Tetangga mulai bergunjing, memandang hubungan mereka dengan tatapan mencibir. Bahkan, Rania mulai bertanya-tanya tentang hubungan ibunya dengan “Om Dimas.”
Suatu pagi, Novita dan Dimas memutuskan untuk mengajak Rania jalan-jalan ke taman dekat perumahan. Mereka berharap momen itu bisa menjadi awal perkenalan yang lebih baik antara Dimas dan putri Novita. Di sana, Dimas membawa sebuah boneka beruang kecil sebagai hadiah untuk Rania.
“Ini buat Rania. Om Dimas beli khusus untuk kamu,” kata Dimas sambil tersenyum.
Rania memandang boneka itu sejenak sebelum akhirnya tersenyum. “Terima kasih, Om Dimas!” serunya dengan ceria.
Melihat interaksi itu, Novita merasa lega. Namun, di saat yang sama, ia tahu bahwa tantangan terbesar mereka masih datang dari luar, terutama dari ibu Dimas. Wanita itu masih belum bisa menerima hubungan mereka
Di sisi lain, keluarga Dimas masih berusaha memahami keputusan pria itu. Ibu Dimas, yang dulu keras menolak, mulai melunak setelah beberapa kali berbicara dengan Pram. Namun, luka antara ibu dan anak itu belum sepenuhnya sembuh.
“Dimas, kamu yakin nggak menyesal dengan keputusan kamu?” tanya ibunya suatu malam saat mereka makan bersama.
“Iya, Bu. Aku yakin. Aku tahu ini bukan pilihan yang mudah buat Ibu, tapi aku juga nggak bisa membohongi hati aku sendiri,” jawab Dimas dengan tenang.
Ibu Dimas menghela napas. “Kalau kamu bahagia, itu sudah cukup buat Ibu. Tapi, kamu harus ingat, kebahagiaan itu kadang perlu pengorbanan.”
Kata-kata itu terpatri di hati Dimas. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan terus menuntut pengorbanan, tetapi ia sudah siap menghadapi semuanya.
Sementara itu, Pram memutuskan untuk benar-benar melanjutkan hidupnya. Ia menerima tawaran pekerjaan di kota lain, meninggalkan perumahan padat yang penuh kenangan tentang Novita. Sebelum pergi, ia menemui Novita untuk terakhir kalinya.
“Bu Novita, aku mau pamit. Aku pindah ke Surabaya minggu depan,” kata Pram dengan senyum tipis.
Novita terkejut. “Kok mendadak banget? Tapi aku senang kalau kamu sudah menemukan jalan baru.”
Pram mengangguk. “Aku harus. Kadang, untuk sembuh, kita perlu menjauh dari tempat yang bikin kita terluka. Tapi aku mau kamu tahu, aku nggak pernah menyesal pernah kenal kamu. Kamu wanita yang luar biasa.”
Novita merasa haru. Ia memeluk Pram dengan penuh rasa terima kasih. “Makasih, Mas Pram. Aku juga nggak akan lupa sama kebaikan kamu.”
Saat Pram pergi, Novita merasa ada satu beban yang lepas dari hatinya. Kini, ia bisa benar-benar fokus pada perjalanan baru yang ia jalani bersama Dimas.
Malam itu, Novita dan Dimas duduk berdua di teras rumah. Mereka berbincang santai sambil memandangi bintang-bintang di langit. Rania sudah tidur di kamar, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang nyaman.
“Aku senang kamu nggak menyerah, Bu Novita,” kata Dimas sambil menggenggam tangan Novita.
“Aku juga senang kamu tetap bertahan,” balas Novita sambil tersenyum. “Mungkin kita nggak sempurna, tapi aku yakin kita bisa saling melengkapi.”
Malam itu, mereka berbagi harapan untuk masa depan. Meski perjalanan cinta mereka penuh luka, mereka percaya bahwa kebahagiaan yang mereka rasakan adalah bukti bahwa cinta sejati layak diperjuangkan.
Baca Online gratis Cinta yang Dipertahankan Bab 10 Cinta di Balik Pagar
Untuk Bab selanjutnya dan membaca semua novel bisa ke Daftar Isi dan sinopsis Novel Online Gratis Cinta di balik Pagar ( Klik ” Kembali Ke Daftar Isi Cinta di Balik Pagar ” )